Keadilan Perspektif Agama dan Humanisme

Selama ini, adil seringkali didefinisikan dengan kesetaraan, persamaan, dan atau tanpa membeda-bedakan, baik agama, ras, suku, warna kulit, dan lain sebagainya. Sekilas tidak tampak ada yang salah dengan definisi di atas, apalagi dari sudut pandang humanisme. Akan tetapi, jika ditilik dari sudut pandang dan perspektif agama, bisa jadi berbeda.

Adil versi agama (baca: agama Islam) tidak harus sama dan setara, melainkan menempatkan segalanya sesuai dengan proporsinya. Perempuan diposisikan sesuai fitrahnya, begitu pula dengan laki-laki.

Jika, misalnya, perempuan mesti memiliki peran dan kedudukan yang sama dengan laki-laki, maka akan ada hal lain yang tidak berjalan dengan semestinya. Contoh nyata dan sering kita dengar adalah terbengkalainya pendidikan anak. Bahkan, beberapa waktu lalu ada orang tua yang menghamili anaknya sendiri, lantaran sang istri sering tidak ada di rumah. Sibuk bekerja.

Beberapa hari yang lalu ada diskusi menarik perihal kontroversi legalitas praktek LGBT di Indonesia. Sampai saat ini hal itu masih jadi perdebatan dan polemik di antara para ‘akademisi’.

Kelompok yang pro dan mensupport LGBT berdalih dengan keadilan. Menurut mereka, karena para pelaku LGBT juga manusia maka kita wajib melindungi hak mereka sebagai manusia. Tidak seorang pun yang berhak mengebiri kebebasan dan hak mereka. Jika hal itu sampai terjadi berarti keadilan sudah tiada lagi.

Dalam perspektif agama Islam tentu praktek LGBT tidak dapat dibenarkan, karena dapat mencitderai esensi penciptaan manusia yang diciptakan secara pasang-pasangan. Bukan karena tidak adil. Justru dengan melegalkannya, Islam menzalimi umatnya.

Oleh karena itu, barometer keadilan tidak cukup hanya berdasarkan kemaslahatan versi manusia. Akal dan pengetahuan manusia terbatas. Tidak menyeluruh dan sempurna. Apa yang dianggap adil oleh si A belum tentu dianggap adil oleh si B.

Yang paling bijak adalah mengombinasikan kemaslahatan versi manusia (akal) dan versi Tuhan (naql). Pada hakikatnya, akal yang benar tidak akan menyelisihi naql (nas-nas syariat).

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menegaskan, “Sesungguhnya, syariat yang benar selalu seleras dengan akal yang benar. Dan sesungguhnya argumen (hujah) akal yang jelas tidak pernah bertolak belakang dengan hujah syariat yang benar.”

Jika, misalnya, ada hukum-hukum syariat yang tampak tidak adil, dan atau mengandung diskriminasi, bukan berarti syariatnya yang salah, melainkan karena pengetahuan kita masih lemah dan tidak sempurna. Sedangkan, syariat pembuatnya adalah Allah swt, Zat Mahamengetahui lagi Mahaadil. Mustahil Allah berbuat dan membuat ketetapan yang menzalimi hamba-hamba-Nya.

“Dalam al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ sama sekali tidak terdapat kebatilan. Akan tetapi, di dalamnya ada beberapa redaksi yang tidak bisa dipahami oleh sebagian orang, atau dipahami dengan cara atau makna yang salah. Jadi, yang keliru bukan al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’nya, melainkan orangnya,” ujar Ibnu Qayyim al-Jauziyah.

Yogyakarta, 11-04-2016

Tinggalkan komentar