Bahaya Nepotisme

Syahdan, pada tahun kedelapan hijriyah di Makkah, ada seorang perempuan terhormat dari Bani Makhzum, salah satu klan besar kaum Quraisy yang memiliki power dan kekayaan, terbukti mencuri emas dari perempuan lain. Karena telah terbukti mencuri, ia pun akan dijatuhi hukuman potong tangan.

Mendengar hal tersebut, kaum Quraisy dari Bani Makhzum tidak tinggal diam. Mereka mencari cara agar perempuan dari klan mereka tidak dihukum potong tangan. Memalukan sekali, sebab Bani Makhzum merupakan klan yang amat kuat dan kaya raya. Menurut analisa mereka, Nabi Muhammad Saw tidak mungkin bisa disuap dengan harta kekayaan. Akhirnya, mereka memutuskan mencari orang yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad Saw untuk memohon agar perempuan tersebut tidak dihukum.

Pertama-tama, orang-orang Quraisy pergi mendatangi Sayidah Ummu Salamah, istri Rasulullah Saw, dan putrinya, Siti Zainab. Mereka meminta agar Ummu Salamah dan Siti Zainab bersedia membujuk Nabi Muhammad Saw agar tidak menghukum perempuan yang mencuri tersebut. Sayangnya, Sayidah Ummu Salamah dan Siti Zainab menolak dengan tegas permintaan mereka.

Setelah gagal membujuk Sayidah Ummu Salamah dan Siti Zainab, mereka mendatangi Usamah bin Zaid, salah satu orang yang sangat dekat dan dicintai Rasulullah Saw. Mereka meminta Usamah membujuk Rasulullah Saw agar membatalkan hukuman dan Usamah menyetujuinya. Pergilah Usamah menemui Rasulullah Saw dan meminta Rasulullah Saw tidak menghukum dan memotong tangan perempuan tersebut.

Mendengar permintaan irasional tersebut, Rasulullah Saw amat marah dan langsung menolaknya. Sebab, di hadapan hukum semua sama, tidak ada nepotisme. Lantas, Rasululllah Saw mengumpulkan orang-orang untuk mengajari mereka tentang urgensitas keadilan di dalam menegakkan hukum.

Rasulullah Saw bersabda:

أمَّا بَعْدُ، فإنَّما أهْلَكَ النَّاسَ قَبْلَكُمْ: أنَّهُمْ كانُوا إذا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وإذا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أقامُوا عليه الحَدَّ، والذي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بيَدِهِ، لو أنَّ فاطِمَةَ بنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَها

“Sesungguhnya, orang-orang sebelum kalian binasa karena bila ada orang terpandang di antara mereka yang mencuri, mereka membiarkannya; dan bila orang lemah yang mencuri, mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah! Andaikata Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.” (HR Bukahri-Muslim).

Setelah menyampaikan pidato yang berisi peringatan keras tersebut, Rasulullah Saw memerintahkan agar perempuan terhormat yang mencuri tersebut segara dieksekusi dengan dipotong tangannya. Demikianlah Rasulullah Saw menekankan urgensitas keadilan dan persamaan di hadapan hukum, tidak yang lebih tinggi daripada hukum yang berlaku, bahkan dari putri Rasulullah Saw sendiri yang sangat dicintainya.

Akhir-akhir ini, hadis di atas kembali populer dan menjadi pembahasan di berbagai platform media sosial. Ada yang menjadikannya sebagai dalil bahwa kita tidak perlu mencintai zuriyat Nabi Saw yang melanggar hukum. Namun, jauh panggang dari api, hadis tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kewajiban kita mencintai zuriyat Nabi Saw. Sebagaimana dapat dilihat dari kronologi di atas, hadis tersebut membahas urgensi keadilan dan bahaya nepotisme.

Dikutip dari situs resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam hadis di atas, Nabi Saw menegaskan bahaya nepotisme, bahwa ia akan merusakan sendi-sendi kehidupan dan hal tersebut telah berbukti dalam catatan sejarah. Tersebab, di antara salah satu faktor umat terdahulu binasa adalah merajalelanya praktik nepotisme. Hal itu juga menegaskan bahwa ketidakadilan hanya akan membawa kehancuran dipelbagai sektor dan sendi kehidupan. Sudah menjadi hukum alam, satu keburukan akan membawa lebih banyak keburukan yang lain.

Jadi, amat rasional bila Nabi Saw sangat marah ketika mendengar permintaan Usamah bin Zaid untuk tidak menghukum perempuat yang mencuri gegara dia dari klan yang terhormat. Demi ingin menegaskan urgensitas keadilan dan egalitarianisme di hadapan hukum, Rasulullah Saw sampai menjadikan Siti Fathimah, putri yang amat dicintainya, sebagai perumpamaan.

Selain itu, dalam hadis di atas, Rasulullah g menggunakan tiga huruf taukid (huruf penegasan), yaitu wawu qasam, ‘anna, dan lam. Hal itu menunjukkan betapa urgennya keadilan dan egalitarianisme di hadapan hukum serta betapa bahayanya praktik nepotisme. Pun, menegaskan bahwa tidak ada yang lebih tinggi melebihi hukum. Jabatan, status, dan nasab tidak memiliki pengaruh sama sekali di hadapan hukum.

Jika ada anak dan atau kerabat penjabat negara yang terbukti melanggar hukum maka harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku demi keadilan. Jika dibiarkan atau diberi hukum yang tidak adil maka akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegak hukum. Jika penegak hukum sudah tidak dapat dipercaya maka masyarakat akan memilih berintindak sendiri-sendiri. Ini tentu saja amat berbahaya, apalagi di negara hukum macam Indonesia.

Pun, ketika ada zuriyat Nabi Saw terbutki melakukan perbuatan melawan hukum maka mereka harus diproses dan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Tidak ada perbedaan sama sekali. Hanya saja harus benar-benar terbukti bersalah, ada bukti nyata bukan hanya sekadar berdasarkan bukti spekulatif, apalagi manipulatif. Sebab, dalam hadis di atas, Rasulullah Saw menggunakan redaksi fi’il madhi (saraqa) yang menunjukkan harus ada bukti nyata bukan rekayasa.

Tambahan, dalam hadis di atas, Nabi Muhammad Saw menggunakan huruf “law” (لو) yang bermakna imtinâ’. Artinya, tidak mungkin keturunan Nabi Saw akan melakukan dosa besar semacam mencuri dan berzina. Dalam al-Qur’an, Allah Saw juga telah menjamin akan menjaga mereka dari perbuatan dosa besar dan akan selalu menyucikan mereka. Itu dalam hukum agama. Berbeda lagi dalam hukum dunia, tidak ada jaminan mereka tidak akan melanggar hukum. Karenanya, jika terbukti melanggar hukum, harus diproses dan hukum sesuai hukum yang berlaku.

Tinggalkan komentar