Golput, Sunnah?

Sebentar lagi waktu pemilihan presiden dan wakil presiden bakal segera tiba. Jelas kemungkinannya hanya dua, presiden lama dan wakil baru yang menang atau calon presiden lama dan wakil baru yang tersenyum manis menuju istana. Semua akan jelas pasca pemilihan pada tanggal 17 April 2019 nanti. Untuk saat ini, mau klaim menang bagaimana pun tetap tidak memiliki efek apapun. Jadi, kudu sabar.

Saya pribadi benar-benar aktif merasakan dan tahu suasan pemilihan presiden (pilpres) baru pada tahun ini. Pada pilpres-pilpres yang lalu saya tidak benar-benar tahu dan merasakan suasana pilpres karena masih ‘mendekam’ di pondok pesantren. Di pesantren yang paling dipedulikan santri ya hanya belajar dan ngaji, meski pas waktu coblosan (kadang) kami diberi waktu libur untuk ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi dan memilih pemimpin kami sendiri.

Saya tidak menyangka suasan ril pilpres sepanas dan seburuk ini. Dikatakan panas karena kedua kubu saling serang saban waktu tiada henti. Dikatakan buruk karena banyak dihiasi caci-maki dan hoaxs bertebaran di mana-mana.

Menurut saya yang awam ini, perbedaan dan perdebatan dalam pilpres kali ini amat sangat tidak sehat dan tidak mendidik sama sekali, khususnya dalam aspek berdemokrasi. Semestinya, waktu pilpres dan pil-pil yang lain dijadikan momentum mendidik rakyat supaya sadar dan paham cara berdemokrasi yang baik. Bukan malah mereduksi nilai-nilai demokrasi demi tujuan pragmatis belaka. Seperti salah satu partai yang memberi penghargaan kebohongan kepada lawan politiknya. Itu sama sekali tidak etis, kata salah satu pengamat politik. Juga, menurut saya, contoh buruk dalam berdemokrasi. Kekanak-kanakan.

Nah, melihat perdebatan dan perbedaan yang tidak sehat tersebut saya jadi teringat pada salah satu kaidah ilmu Ushul Fiqh, yaitu al-khurûj min al-khilâf mustahabbun, keluar atau menghidari perbedaan hukumnya sunnah (dianjurkan). Arti sederhana dari kaidah tersebut adalah, daripada ribut terus tidak berkesudahan lebih baik nyari jalan tengah buat mendamaikan perbedaan yang ada biar tidak tukaran terus.

Salah satu contoh dalam hukum Islam (fiqh), menyembelih hewan kurban pada malam hari dalam Mazhab Hambali diperbolehkan, sedangkan Mazhab Maliki mengharamkannya. Nah, khawatir tukaran terus, akhirnya para ulama Mazhab Hambali memakruhkan menyembalih hewan kurban pada malam hari.

Jalan tengah yang ditempuh Mazhab Hambali guna meredam perbedaan adalah tidak menganjurkan sekaligus tidak melarangnya (makruh). Dengan begitu, pihak lawan, Mazhab Maliki, bisa menerimanya dengan lebih baik tinimbang pendapat pertama yang memperbolehkan.

Dari situ, saya sempat terlintas dalam pikiran bahwa cara untuk keluar dari silang pendapat mengenai pilpres yang tidak sehat itu adalah dengan Golput. Golput sendiri merupakan kependakan dari Golongan Putih.

Menurut Imam Wikipedia, Golput adalah istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru.

Tokoh yang terkenal memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman. Namun, pencetus istilah “Golput” ini sendiri adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara.

Namun, ada istilah baru dalam kontestasi politik Tanah Air, yaitu Golfud. Golpud adalah singkatan dari Golongan Mahfud. Golfud berbeda dengan Golput. Jika Golput mengajak orang untuk tidak memilih salah satu pasangan, Golfud sebaliknya. Golongan ini justru mendorong publik menggunakan hak pilihnya untuk mencoblos salah satu pasangan pada April nanti, Jokowi atau Prabowo.

Kembali pada kaidah di atas. Fakta perdebatan dan perbedaan dalam kontestasi politik kali ini kalo kita bahasakan dengan tegas, kan, begini; menurut kubu 01, wajib memilih pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin demi Indonesia maju. Pun, menurut kubu 02, wajib memilih pasangan Prabowo-Sandi demi Indonesia adil dan makmur.

Kenapa saya bahasakan wajib? Apa saya hanya mengada-ada? Tidak. Sama sekali tidak. Itu fakta dan realita yang dapat kita lihat dan saksikan sendiri dengan mata telanjang tanpa perlu minjam kacamata kuda. Misal mereka tidak menganggap wajib, ngapain mereka saling maki-makian, caci-cacian, jelek-jelekin, serang-serngan, dan hoak-hoakan. Bahkan tidak sedikit yang bilang gini, “Bagi saya dan keluarga wajib pilih Anu dan haram memilih Itu.” Terlebih agama juga di bawa-bawa.

Kalo misal saya dianggap mengada-ada, tidak apa-apa. Terserah. Yang penting menurut saya seperti itu. Kita saling menghargai pendapat saja.

Jadi, saya menyimpulkan bahwa perdebatan dan perbedaan tersebut seputar antara wajib dan tidak wajib memilih salah satu pasangan. Dengan mengacu pada kaidah di atas maka jalan tengahnya adalah kita hanya sunnah memilih salah satu pasangan. Yang sunnah Golfud bukan Golput. Sunnah itu berarti yang lebih baik memilih salah satu pasangan demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Menurut kaidah tersebut, ketika terjadi perbedaan antara wajib dan tidak wajib maka jalan tengahnya adalah disunnahkan saja. Lebih baik dikerjakan tetapi andai tidak mengerjakannya juga tidak masalah, tidak memiliki akibat hukum. Dosa, misalnya.

Nah, ingat ya, milih salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah sunnah, tidak wajib. Pokok anggap begitu. Maka, tidak selayaknya kita sesama saudara sebangsa bermusuhan, saling caci-maki, saling jelek-jelekin, saling buka aib hanya gegara suatu yang sunnah. Sangat tidak logis dan bahkan sangat absurd. Wong, sunnah tidak memiliki konsekuensi hukum apapun baik dikerjakan atau ditinggalkan, buat apa diributin!

Lain lagi dengan persaudaraan, baik antara sesama anak bangsa maupun antara sesama pemeluk agama. Menjaga persaudaraan itu wajib hukumnya. Bahkah, dalam salah satu hadis disebutkan bahwa tempat yang pantas bagi orang yang memutus tali persaudaraan adalah di neraka. Mau ke neraka?

Tahu, kan, kalo yang sunnah tidak bisa mengalahkan yang wajib. Sunnah bukan lawan sepadan bagi wajib. Sampai kiamat tiba, wajib akan selalu ada di atas sunnah dan mesti didahulukan.

Bila kita ngotot dan ngeyel memposisikan sunnah laiknya wajib atau bahkan di atasnya maka pasti fitnah yang akan terjadi karena menyalahi aturan dan sunnatullah. Seperti yang saya dan Anda lihat dengan jelas saat ini. Kalau Anda tidak melihat dan merasakannya, berarti Anda kurang ngopi.

Inti utamanya sih begini, jika kita mau ikut-ikutan nimbrung dalam hal apapun itu, setidaknya kita terlebih dahulu mesti tahu ilmunya. Kalau tidak tahu, ikut pada yang tahu. Kalau yang tahu tidak amanah, diam saja. Tidur. Kelonan sama bini. Lah, kalau jomblo? Mbuh, pikir aja sendiri.

Tinggalkan komentar